Karantina dan Ritus Ibadah yang “Berubah”
HimmahKPI. Com - Kebijakan karantina wilayah (lockdown) akibat pandemi wabah Covid-19 yang diproklamirkan pemerintah pada bulan Maret 2020 sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran virus tentu menghadirkan banyak perubahan. Karantina wilayah yang dimaknai sebagai pembatasan aktivitas publik, hingga penutupan sementara wilayah atau daerah yang memiliki implikasi sosial tinggi, seperti peliburan sekolah dan tempat kerja, penutupan tempat ibadah, mall, hotel, restoran, pembatasan kegiatan keagamaan dan pembatasan fasilitas umum menjadikan shock culture bagi sebagian orang yang tidak siap menjalaninya. Kebijakan yang didasarkan pada status kedaruratan kesehatan masyarakat ini tentu bukan berarti tidak menyisakan permasalahan.
Masyarakat sebagai kelompok individu yang dinamis berubah terus sepanjang kehidupan, karena perubahan merupakan fitrah manusia. Menyadari dinamika kehidupan di mana perubahan dan tantangan terus terjadi, maka sense of creativity dan innovation menjadi tuntutan utama yang harus dimiliki setiap individu ataupun kelompok. Pola dan mekanisme baru perlu dicari untuk menghadirkan nilai-nilai yang produktif, solutif, dan kontributif pada suatu perubahan yang terjadi.
Baca Artikel Menarik Lainnya
- Cegah Penularan COVID-19, Pemerintah Kecamatan Jatibanteng Terapkan Pelayanan Sesuai Protokol Kesehatan
- Penyaluran BLT DD Tahap 2 Desa Capoan Mlandingan, Berikut Pesan Kades HJ. Nur Arifah
- Terlaksana Tertib dan Lancar, Pemdes Peleyan Salurkan BLT DD Kepada 161 KPM
Ramadhan 1443H lalu terasa menjadi Ramadhan yang sangat istimewa. Semua ritual ibadah apakah itu ibadah yang sifatnya wajib (faridhoh) ataupun ibadah sunnah (tathowwuan) terfokus di rumah. Ifthor, tarawih, tadarus, i’tikaf, qiyamul layl, semua dilakukan secara personal dengan keluarga inti masing-masing. Dalam kondisi demikian, kita dituntut menghidupkan dan menciptakan baity jannaty yang mungkin selama ini nyaris hilang dari manajemen kehidupan kita dan sebatas jargon. Mereka yang adaptif dan responsif tentu bisa menyesuaikan keadaan. Namun, bagaimana yang tidak adaptif dan responsif?
Disambungnya kebijakan karantina dengan fase transisi, di mana Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masih berlaku, sekaligus sebagai penanda masuknya era ‘New Normal’ (Tatanan Kehidupan Normal Baru) merupakan transformasi perilaku hidup di masyarakat untuk tetap menjalankan aktivitas normal namun dengan menerapkan protokol kesehatan. Perkantoran mulai berjalan normal tapi dibatasi 50% karyawan yang beraktivitas, mall-pun demikian. Namun, sekolah masih berlanjut learning from home. Bahkan, info terupdate Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) memutuskan sekolah aktif kembali (tatap muka) di awal tahun 2021. Ibu-ibu sebagai madrasatul uu-laa benar-benar harus dapat memosisikan diri, meng-upgrade diri untuk tetap memberikan nutrisi otak bagi buah hatinya. Jangan sampai karena “libur” panjang, anak-anak kita hanya dijejali dengan menu game dan social media yang kurang berfaedah bagi pembentukan karakter dan akademik anak.
Majelis Taklim dan Tantangan di Tengah Krisis
Tak kalah menariknya adalah tempat ibadah dibuka kembali, tetapi protocol PSBB pun tetap berlaku. Protokol untuk ke masjid, misalnya, mulai berwudlu dari rumah, membawa sajadah sendiri, tidak berjabat tangan, tetap memakai masker hingga menjaga jarak shaf shalat. Ini adalah tatanan baru yang mengajarkan kedisiplinan individu dan kolektif. Namun, di sisi lain, ini merupakan masa tersulit bagi majelis taklim. Ya, majelis taklim yang merupakan lembaga pendidikan non-formal di bawah Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) sulit mengaktualisasikan fungsi dan perannya. Mulai masa Karantina Wilayah hingga era New Normal, majelis taklim sebagai pusat aktivitas keagamaan terasa kehilangan ruhnya. Majelis taklim memang bukan satu-satunya lembaga atau wadah untuk menebar ilmu dan kesalihan kolektif. Tetapi, fungsi dan peran majelis taklim sangat konkret dan jelas dirasakan sebagai salah satu wadah penyadaran dan pencerahan beragama dalam hidup dan kehidupan sehari-hari.
Keberadaan majelis taklim memberikan banyak kontribusi dalam pembanguanan, khususnya di bidang pembinaan mental-spiritual melalui ajaran agama. Berbagai kajian dan kegiatan-kegiatan ruhani di dalamnya mampu menjadikan individu yang salih, bertaqwa pada Tuhannya dan tentu menjadi insan yang tawadlu. Jelas sekali individu-individu yang demikian menjadi kunci penunjang keberlangsungan pembangunan. Peranan agama mewujud sebagai faktor motivatif, kreatif-inovatif dan inspiratif.
Dampak arus digital bisa terjadi pada beberapa segmen kehidupan. Salah satunya adalah pemanfaatan teknologi informasi untuk mengembangkan layanan dan aplikasi untuk telusuri informasi internet, e-commerce, pendidikan jarak jauh, bahkan siraman rohani sekali pun. Bagi generasi millenial, ibu-ibu muda dapat melanjutkan pemenuhan spiritualnya melalui penelusuran konten-konten keagamaan pada media sosial. Tapi, bagaimana dengan ibu-ibu yang jauh dari penggunaan medsos bahkan yang dari kecil kenal agama dari surau ke surau dan sampai hari ini masih setia menghidupkan majelis taklim? Tentu mereka akan mengalami shock culture.
Dari majelis taklim mereka mendapatkan banyak hal, selain pembinaan mental-spiritual sebagaimana disebutkan di atas, juga sebagai ajang silaturahmi dan tersambungnya sanad keilmuan secara langsung dengan ustad/ustadzah. Kajian face to face (tatap muka), duduk bersama jamaah lainnya, kehadiran seorang ustad/ustadzah, adalah model transformasi keilmuan (dakwah) yang tidak didapatkan dalam penelusuran siraman ruhani di medsos. Ikatan emosional/chemistry antaranggota jamaah ataupun dengan ustad/ustadzah tidak didapatkan secara utuh dan menyeluruh di medsos. Doktrin-doktrin atau ajaran yang sudah terkonstruk pada mindset mereka, seperti aljamaa’atu rohmah, innal barokata ma’al jamaaah, bertemunya dengkul kala duduk antara satu jamaah dengan jamaah lainnya akan menjadi saksi di hari akhir, pengakuan guru-guru ketika dibangkitkan dan baris di padang makhsyar adalah salah satu dari sekian motivasi kebertahanan majelis taklim.
Kini, perubahan tatanan kehidupan baru itu menjadikan majelis taklim semakin terseok di persimpangan jalan. Pembatasan sosial berskala besar harus diterapkan, sehingga yang semula jamaah ke masjid atau majelis secara berduyun-duyun kini serasa lesu karena pembatasan tersebut. Terbatasnya jamaah tanpa disadari menurunkan daya tarik magnet majelis taklim. Belum lagi maraknya konten-konten siraman rohani yang semarak di medsos dengan berbagai tipikal dan gaya yang khas, telah melampaui dan menerabas fungsi dan peran majelis taklim.
Sementara menunggu formulasi dan pola yang baku, sebagai khalifah di muka bumi mengemban amanah untuk berdakwah, maka kita tetap bangun dan tebarkan virus optimistis, yaitu tetap menyelenggarakan kegiatan kemajlis-takliman dengan mengikuti protokol kesehatan. Pola ini didasarkan atas kenyataan bahwa jamaah sudah terlalu lama vakum dan haus siraman ruhani. Pola ini menunjukkan bahwa majelis taklim dengan segala kendala yang melingkupinya masih ditemukan di bumi nusantara ini.
Bogor, 11 juni 2020
Penulis: S. Mahmudah Noorhayati (Dosen di IAI Nasional Laa Roiba Bogor)
Email: noorhayatimahmudah@gmail.com
Tags:
Artikel