HimmahKPI. Com - Semuanya berkisah saat sore. Tiada senja yang di janjikan akan berwarna indah. tiada jingga yang terbentang di setiap hati manusinya. Semuanya hanya bualan, ilusi, halusinasi. Ini bukan cerita dongeng kebanyakan ber ending bahagia. Karna hanya irama nestapa yang tertanam di pertengahan bulan penuh berkah.
Namaku Anggi puspita yulia seorang wanita sederhana kelahiran di pulau terpencil yang masih belum mempunyai keturunan karna kami masih menjalin pertunangan yang baru seumuran jagung. Tunanganku Ahmad yani sudah 2 tahun pergi berlayar karna mencari sesuap nasi. Ia pencari ikan di laut lepas, menjualnya, meski harga ikan tahun ini cukup memilukan. Dengan hidup yang dulunya serba berkecukupan kini tidak lagi akibat wabah mematikan yang menjadi tranding topik permasalahan. meski sudah banyak penolakan Ahmat tetap bersikukuh pergi berlayar mengikuti arus ombak dan alhasil yang kuterima ia tidak kunjung pulang 2 tahun lamanya. Karna kata setia itu ada maka aku disini setiap hari masih bersama sore dengan orang-orang yang tak memperdulikan ku mematung. Seringkali aku menangis sesenggukan meski banyak yang berlalu lalang. mereka menganggapku terlalu berlebihan. Kini aku seperti Dewi subadra yang menunggu kepulangan sang Arjuna dalam keadaan sedih.Dan ceritaku memang sepenuhnya melakoni cerita wayang tersebut. Ada prabu baladewa yang maju untuk mengisi kekosongan dan mengisi gentong air mata yang berpaut dengan singgasana kehancuran.
Malam semakin pekat aku memilih menyudahi semuanya mungkin pinangan dari Mas Muhammad fathoni harus kuterima. Bukan keinginan pribadiku tapi perintah orang terkasihku Bapak dan Ibu. Juga dari sahabat terdekatku dan dari saudara yang sayang padaku. Meski sebenarnya aku tak mengerti dengan keadaan tahun 2020 ini. banyak nyawa lenyap dari seluruh penjuru negri, Mereka melolong kelaparan tapi aparat kurang menangani, semua berlomba membangun rumah dengan gaji akhir dan melupakan tetangga kaum marjinal. dan hal itu juga aku rasakan, seorang wanita bersuami dengan seenak jidat orang tuaku menyuruhku menerima lelaki lain. Harus repot-repot mengundang sejumlah manusia dan membuat aneka macam kue kedua kali. kenapa tidak mereka bagikan saja uangnya kepada yang lebih membutuhkan. lagi pula mau di taruh dimana mukaku sudah bertunangan kok mau nerima yang lain lagi, pasti congor tetangga akan mengunjingku. dengan desahan yang pelan aku berbalik menyusuri setapak demi setapak jalanan berbatu sendirian. rumahku terbilang dekat dengan pantai ini. jadi para nelayan itu kebanyakan sudah mengenalku.
"dari mana saja nak?" sapa ibuku. "Dari pantai buk, maaf tadi gak sempet bilang" dengan wajah lesu aku menjawab. ibuku sebenarnya sudah memahami di setiap soreku ada dimana mungkin pertanyaan itu hanya basa basi saja. "Iya wes sana mandi, bentar lagi buka puasa" sergah ibu. "Iya buk saya mandi dulu" jawabku. Di dalam bapak sedang mengaji aku jadi sungkan menyapanya ku berlalu saja.
Allahu akbar.....Allahu akbar....adzan sudah dikumandangkan saatnya berbuka puasa. sebenarnya aku memiliki satu rumah bersama suamiku tapi selepas dia pergi begitu lama aku memilih tinggal bersama orang tuaku. hidupku merasa terbebani dengan tinggal sebatang lara disana. Selepas semua kewajiban ku kepada tuhan terlaksana aku suka membaca novel spiritual seperti tentang 99 keutamaan Asmaul Husna, tata cara menjadi wanita sholeha, di skip saja.
Malam itu aku ketiduran di meja belajarku yang sudah kusam. Dalam alam sadar aku bermimpi bertemu suami tercinta ku dia sedang berlari, dan aku mengekori, begitu cepat bahkan aku sampai kehilangan jejaknya tapi tetap saja dia berlari, aku sudah berteriak tapi Ahmad seperti enggan mendengarkanku, dia berhenti di tepi pantai menoleh ke arah lain yang membuatku mengikuti arahannya. disana ada wanita tua sedang mengaji di atas surau, aku terheran siapakah wanita itu, tak lama Ahmad menaiki kapal kecil miliknya dan melambaikan tangannya padaku. Aku berlari menghampirinya dan berteriak memohon agar dia kembali pulang karna ada cinta yang menunggu, ada rindu yang mengalun syahdu tapi kenapa seolah dia tak memperdulikan aku. pelan sekali Ahmad berkata "Pulanglah kekasihku, aku lahir oleh laut dan akan kembali kepada laut", Tidak kekasihku aku menginginkan di kau kembalilah bersamaku. dengan setengah berlari aku menuju arah wanita tua tadi untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, dia berkata "Jangan terlalu mencintai makhluk ciptaannya ndok, gusti Allah swt sedang menguji perihal patri cinta mu saat ini, kau terlalu terlena dengan nikmat dari sederet mawar yang ternyata berduri, kau melupakan hakikat kebenaran mencintai, kepada siapa dan oleh siapa cinta itu harusnya tertanam, ndok, belajarnya memahami estetika mencintai yang sesungguhnya, semua yang ada di alam semesta hanyalah pencitraan dari ke fanaan semata". Hatiku luluh lantah, derai air mata begitu nyata dan aku terbangun. Kalimat istighfar ku lantunkan berulang-ulang karna aku sadar ini bukan bunga tidur melainkan teguran Gusti Allah swt. Ku memilih mengaji saja untuk berikhtiyar memohon ampun atas segala kenafikan ku selama ini. tanpa sadar air mata penyesalan akan mencintai makhluk ciptaannya terlalu besar. Duh Gusti Allah swt ampun kan segala dosaku, begitu hina aku sebagai wanita yang seharusnya mencintaimu malah begitu fokus terhadap tanah yang kau beri nyawa. Dosaku begitu menumpuk bahkan bila kau ridhoi dengan mematahkan seluruh tulang-tulang aku bersedia. Lantunan ayat suci alqur'an begitu jernih ku baca, begitu tertatih tatih ku eja, begitu fasih perbait ku telaah. berhenti di ayat
ÙˆَالْآخِرَØ©ُ Ø®َÙŠْرٌ ÙˆَØ£َبْÙ‚َÙ‰ٰ
Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. [Al-A’la/87: 17]
aku merenung, benar begitu, kehidupan akhirat adalah tempat terakhir manusia, kembali ku lantunkan ayat suci alqur'an sekali lagi. tapi air mata tak mampu dibendung daripada aku merasa waswas kusudahi dan meletakkan Al-Qur'an ketempat semula. tahajjud dan istikhoro kini kulakukan demi memohon petunjuk kepada Gusti Allah swt. Aku kembali tertidur.
keesokan paginya berlalu semakin cepat aktivitas-aktivitas yang kulakukan banyak membantu ibuk berdagang gorengan di depan rumah. Sore itu aku tak lagi ke tepi pantai seperti sebelumnya aku memantapkan hatiku agar tak ada lagi cinta berlebihan terhadap makhluknya. Aku kini menjalani hidup dengan semestinya, aku meminta maaf terhadap kedua orang tuaku yang sebelumnya nasihatnya tak pernah ku gubris. Dan lagi lagi mereka menanyakan perihal Mas Fathoni. Ini bukan hal yang baik jika aku menolak dan kembali menyakiti hati mereka. Ku iyakan saja aku percaya jika Allah swt meridhoi hubunganku dengan Mas Fathoni pasti tiada lagi luka yang sama. Ia lelaki baik seorang ustad dan keluarga serba berkecukupan. Malam itu aku kembali fokus kepada sang ilahi menyerahkan seluruh raga agar terpaut akan satu hati. Kembali istikhoroh kulakukan, ini sudah istikhoro yang ke lima kali sebelum kisahku tak sadarkan diri. Masih sama, memang kebenaran tidak ada yang hakiki tapi mimpi istikhoro kali ini benar-benar membuatku gusar, Mas Fathoni bersinar ia mengenggam tangan wanita cantik disampingnya dan tersenyum.
Paginya sudah dipastikan mas Fathoni beserta seluruh keluarga datang ke rumahku memperjelas apa yang masih ambigu.
Semua berkumpul di ruang tamu, Pertunangan dilangsungkan dengan sederhana. masalah akad nikah itu urusan belakangan, karna masih butuh kemantapan mempersiapkan diri juga keadaan bulan ini belum stabil akibat wabah.
seminggu berlalu meski kami sudah memiliki ikatan tapi tak pernah sekalipun kami bertemu guna berbincang bincang masa depan.
Malam itu mendung begitu tebal pertanda akan hujan, ibu siap-siap memasukkan dagangan ke dalam. sedang ayah tetap sholat ke masjid terdekat. tapi aku tidak bisa sholat kebetulan sedang datang bulan. Tiba-tiba daun pintu di ketuk. "si Anggi mana buk, itu ada yang cari di warung bik eem" ucap tetanggaku. " Siapa to yu?" tanya ibuku. "Kurang tau aku coba suruh anggi kesana?" suruh suara itu lagi. "Iyah wes bentar" ucap ibuku lagi.
"Ndok, ada yang mencarimu di warung bik eem, tapi ibuk gak tau siapa" ucap ibu ku. "Ouh engge buk saya berangkat dulu" ucapku. sesampainya di tempat aku cuma melihat ada satu wanita muda disana mungkin seumuranku. "Assalamualaikum mbak" sapanya.
"waalaikumsalam" jawabku. "Duduk sini mbak, kenalin saya Aisyah." ucapnya. Aku duduk di sampingnya dengan penuh tanda tanya. "Iya mbak siapa ya?" tanya ku. "Aku istri mas Fathoni mbak," ucapnya dengan nada lembut tapi membuat hatiku remuk. "Sebelumnya saya minta maaf mbak, bisa jelaskan dulu secara detail!" pintaku. Dia mendesah pelan dan sangat berat. "Saya sudah tau kalo mas Fathoni bertunangan dengan smpeyan, dia juga sudah izin ke saya tapi berat sekali mengiyakan semuanya, siapa sih bak yang mau dipoligami, siapa mbak yang mau cintanya terbagi, siapa yang mau berbagi hal yang sebenarnya sudah miliknya" Ucap wanita itu yang membuat aku sesak. "Mbak saya minta maaf tapi saya tidak tau perihal ini, mas Fathoni tidak mengatakan apa-apa, perihal istri,....saya bingung harus gimana." ucapku dengan air mata berurai. "Saya tinggal di kota jauh karena ada ibu yang harus saya jaga sepeninggal almarhum bapak saya, dan mas Fathoni mengabdikan dirinya di desa ini karna sebuah perintah dari abahnya.
Saya pun mengiyakan saja mbak, sebab menyebarkan ilmu agama itu penting tapi setelah berbulan-bulan ada kejanggalan, ternyata benar dugaan saya mas Fathoni ingin menikah lagi dan wanita itu samean, saya mohon mbak sampeyan wanita pasti mengerti perasaan wanita, Batalkan pertunagan itu, batalkan ikatan itu. Saya tau sampeyan orang baik" ucapnya yang tidak mampu ku jawab. Setelah banyak berbicara yang intinya menurut ku akulah si pelakor, Dan wanita itu memohon berkali kali untuk mengikhlaskan melepas mas Fathoni. Berat, sakit, luka lagi, itu yang aku alami saat ini. dengan berat hati aku mengiyakan dan berdiri untuk berlalu. Jalanan begitu sunyi, senyap, legang. Aku berjalan tertatih tatih sendirian lagi. Bersama luka lagi, bersama kesenduan lagi.Besok adalah penentu jalan ku, apakah menghikhlaskan atau tetap mengambil kebahagiaan wanita lain, tapi bukan pribadiku merampas tawa suatu keluarga demi diriku sendiri.
aku tidak akan sanggup menjalani kehidupan yang lahir dari kedzoliman, Aku terdiam menatap langit yang terbentang tanpa batas, kuhirup perlahan aroma jalanan aspal, hati berkata betapa alam semesta menjadi saksi atas keegoisan takdir percintaanku.
DMY
Tags:
Cerpen