Menelaah Kata Gondrong

Menelaah Kata Gondrong
The time is read
Situbondo, himmahKPI.com Mengingat kembali sejarah perjuangan sebelum era reformasi demokrasi muncul, tidaklah cukup dengan hanya membaca sejarah saja ataupun sebatas mengetahui banyaknya pahlawan bahkan pemuda yang gugur saat berperang melawan pembela ketidak adilan bahkan telah menjadi korban dari adanya dogma aturan yang telah dibuat untuk melawan rasa kekhawatiran akan hilangnya jabatan pada beberapa abad yang silam. Namun ada hal yang harus kita gali lebih dalam lagi terkait dengan pengetahuan rambut gondrong.

Di era perkembangan industri 4.0 ini tidaklah sedikit orang yang berambut gondrong baik dari kalangan pemuda maupun yang sudah tua dan banyak pula yang merasa tidak suka bahkan membencinya dengan alasan orang-orang disekitarnya tidak suka kepada rambut gondrong. Hal tersebut mengajak orang-orang yang berambut gondrong untuk berdialektika sejauh mana pembahasan gondrong akan didiskusikan.

Istilah gondrong adalah sebutan untuk orang laki-laki yang berambut panjang. Jika dilihat dari sisi sejarah munculnya istilah gondrong yaitu masuknya budaya hippies di Nusantara. Hippie, atau hippy merupakan budaya yang berkembang sejak pertengahan tahun 1960-an. Beberapa orang menganggap kata hippies merupakan variasi dari kata “hipster” yang pertama kali menyebar dari Amerika Utara. Budaya Hippies ini biasanya lebih condong terhadap menjunjung kebebasan individu. Dan biasanya identik dengan beberapa tanda seperti rambut gondrong, selalu mengkonsumsi obat-obatan terlarang, menganggap sex bebas sebagai sesuatu yang tidak dilarang dan suka mengenakan busana yang lebar serta memilih warna yang sangat mencolok. Budaya hippies sendiri masuk ke Indonesia sejak era Soekarno. Namun baru populer di era orde baru. Dilansir dari buku Dilarang Gondrong.

Seiring dengan merambah bebas hadirnya budaya barat ke Indonesia yang juga disebutkan bahwa kebiasaaan orang yang berambut gondrong telah terjadi di masa Soekarno. Akan tetapi ada catatan yang perlu digaris bawahi yaitu bagaimana pergerakan sesungguhnya yang dilakukan oleh sirambut gondrong di Negara demokrasi ini.

juga disebut dalam sebuah buku karangan aria wiratma yudistira yang mengungkapkan bahwa persoalan ini telah menjadi kajian sejarah sosial yang sangat unik dan jarang disentuh oleh para peneliti sebelumnya. Dia bahkan sampai menelusuri beberapa surat kabar dan majalah hanya untuk menarasikan paranoid tersebut yang telah berani melingkupi pemerintahan Soeharto dikala itu. Hal itulah yang menjadi sebuah alasan mengapa Soeharto melarang keras adanya budaya hippies di Indonesia karena budaya tersebut telah dinilai sebagai gerakan kiri baru yang diduga akan mengancam terhadap proses stimulus untuk program pembangunannya pada waktu itu. Sehingga pada awal berdirinya orde baru tersebut, yang menjadi musuh besarnya penguasa ternyata bukan hanya dari komunisme saja, melainkan para pemilik rambut gondrong. Saat itu Ketua militer secara langsung mengeluarkan radiogram pelarangan untuk rambut gondrong.

Sedangkan dalam tradisi Indonesia, rambut gondrong adalah tradisi nenek moyang kita yang terdahulu. Sejarawan Anthony Reid telah mengungkapkan hal demikian dan sebagai contohnya bisa melihat pada foto ataupun gambar pahlawan dan juga tokoh kerajaan sebelum era millenial saat ini. Pada saat itu lambang atau simbol kekuatan dan kewibawaan diri seseorang ditandai dengan rambut yang gondrong. Hanya saja ketika lebih banyak orang yang berasumsi salah terkait dengan rambut gondrong ini, maka yang lainpun akan banyak mengira bahwa orang berambut gondrong tidak memiliki moral. Padahal secara logika sederhana saja, tidak ada kaitannya antara keadaaan fisik berambut gondrong dengan isi dari otak orang tersebut.

Jadi seseorang yang berambut gondrong pasti mempunyai seribu satu alasan yang logis mengapa dia meng-gondrongkan rambutnya. Tidaklah begitu mudah bagi setiap pribadi seseorang yang menetapkan hatinya demi menjadi gondrongers. Terlebih di zaman seperti saat ini dimana segala sesuatu itu dinilai dari sebuah penampilan. Kesalahan berfikirnya masyarakat luas tentang gondrong ini menghasilkan penilaian yang lebih terhadap segi fisik daripada segi karakteristik. Oleh sebab itu, jika memang dengan melihat keadaan gondrong, orang lain merasa keberatan atau terganggu, alangkah baiknya diajak duduk bersama untuk mengetahui alasannya kenapa seseorang menggondrongkan rambutnya. Agar supaya tidak ada kesalah pahaman antara pihak gondrong dan pihak yang merasa terganggu karenanya. Semata-mata hanya untuk menata arah pandang positif dari pada harus ber asumsi yang nantinya menimbulkan sifat egosentris. Karena dengan menggondrong bukan berarti tidak paham kepada aturan.

Iruel
Mahasiswa KPI semester V

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama