Belati Dalam Sukma

Belati Dalam Sukma
A Child was kill a man. (Illustration)
Situbondo, himmahkpi.com Pisang goreng,,,,,pisang goreng.....teriak gadis kecil yang usianya baru 8 tahun. Sepeda ia kayuh dengan penuh semangat, terik panas matahari tak membuatnya putus asa. "Ibu" hanya itu yang sampai saat ini membuatnya kuat. Membuatnya tetap tegar, membuatnya tak pernah gentar apalagi malu berjualan. 

Seorang gadis kecil penjual pisang goreng yang kepulangannya selalu di nanti sang ibu. Sesaat ia melewati gedung Sekolah dasar, gadis itu menghentikan kayuhannya dan tertegun menatap gedung besar di hadapannya. siapapun yang melihat pasti akan iba. Bagaimana tidak, gadis kecil yang ketika memasuki usia 8 tahun masih asyik bersenda gurau bersama teman-temannya, pagi bersekolah siang dijemput oleh mama nya. 

Siapa yang tidak mengidamkan hal tersebut. Tapi tidak dengan gadis kecil ini. pagi berjualan sore petang baru pulang dan langsung mengurus sang ibu yah ibu yang sudah 4 tahun terkapar tak berdaya, dengan kedua bola mata yang sudah tak dapat lagi melihat. Akibat penyakit kanker yang sudah merusak setiap organ ditubuhnya. Tak ada tetangga yang enggan membantunya, tak ada pertolongan medis akibat kurangnya ekonomi, tak ada suami dan ayah yang ikut berperan dalam keluarga tersebut karna 5 tahun silam sang ayah telah meninggalkan mereka berdua demi seorang wanita jalang dan demi sebuah jabatan.

Sore itu gadis dengan wajah lesuh, yang selalu memakai pakaian yang  ia gunakan satu minggu satu kali, semua karna tuntutan bahkan ia lupa cara menangis, air matanya sudah terkuras habis saat ia menyadari bahwa hidupnya begitu tragis. Gadis itu pulang dengan satu bungkus nasi ber lauk kan satu tempe dan tahu. Hanya itu yang mampu ia beli. Karena uang dari hasil penjualannya selalu ia tabung untuk pengobatan sang ibu.

"Ibu, Alena pulang." sapa nya dengan riang. Tapi tidak ada sahutan dari sang ibu. Gadis itu mengambil piring guna memudahkan menyuapi sang ibu. Sambil sedikit mengguncang tubuh sang ibu, 
"Bu, bangunlah alena membawa kan ibu nasi, pasti ibu lapar" sang ibu tetap diam tak bergerak. Gadis kecil Alena semakin khawatir. 

"Bu, bangunlah jangan membuatku takut". Alena semakin mengencangkan guncangannya. 
"Bu, ibu kenapa?". Gadis kecil itu mendekatkan jarinya ke hidung sang ibu, betapa kaget nya Alena,  sang ibu tumpuan segala semangatnya, sang ibu harapan satu-satunya ia kembali pulang, sang ibu yang masih mampu membuatnya tersenyum meski warna hitam kelam merupakan satu-satunya warna dalam hidupnya. 

Kini ibu itu tak lagi bernafas kini sang ibu berhenti berdetak. Histeris yah gadis kecil itu hanya bisa menangis, menangisi semua kepedihan dan nestapa dalam hidupnya. Gadis kecil itu hanya mampu melolong bagai serigala kelaparan. Begitu mengenaskan. Dia keluar mencari pertolongan. 

Saat itu hujan lebat, langit ikut menangisi sukma yang ditelan masa, terkoyak membabi buta tak tentu arah. Petir menyambar deretan bait air mata. Rerumputan bergoyang mengikuti irama kepedihan. Tanah basah akibat hujan pun ikut berdialog bersama langkah kakinya. Dengan keadaan hujan lebat seperti itu siapa yang bersedia menolongnya, Nihil. Satu dua rumah tetangga ia datangi tapi tidak ada yang enggan memberikan bantuan. 

Patah yah, gadis kecil itu bukan ranting namun ia dapat patah. Hatinya, batinnya. Tuhan bantu aku, rapalan doa setiap nafas yang keluar dari bibir mungilnya. Tuhan bantu aku, manusia dengan segudang masa kanak-kanak yang terbuang karna keegoisan takdir. Tuhan bantu aku, gadis kecil yang kau hinakan dengan segala kekuasaanmu. Tuhan, sekali ini saja bantu aku.

Sesaat ia menghentikan langkahnya, tertegun sejenak, Baru kali ini dia membenci tuhan, sangat membencinya, sekujur tubuhnya sudah basah akibat hujan dan kotor karna lumpur akibat sering terjatuh. Baru kali ini dia merasa tuhan tak adil, tuhan membuatku kerdil dihadapan manusia yang memiliki segalanya, tuhan membuatku muak pada seisi dunia. Dia memilih pulang. Berlari dan sesampainya dirumah tua itu, ia pergi ke pekarangan di belakang rumahnya dan menggali tanah. Butuh waktu lama untuk seusia gadis seperti itu menggali pemakaman sendiri. 

Setelah dirasa cukup ia menyeret ibunya dan pelan-pelan memasukkan sang ibu ke dalam tanah yang sudah ia sediakan. Tanpa kain kafan tanpa pemandian tanpa manusia bobrok dan tanpa tuhan. Setelah dirasa sang ibu sudah nyaman dibawah sana ia menutup kembali dengan tanah. Sesekali menyeka air mata dan berteriak "Lihat tuhan aku bisa melakukannya sendiri, lihat!?! kau mandikan, beri ia kain kafan, letakkan ia ditempat ternyaman, dan jaga ibuku di surgamu nanti." dengan nada keras seperti orang gila. 

"Selamat bersetubuh dengan telaga kenikmatan ibu. kini kau terbebas dari perih kiamat di bumi yang penuh manusia bobrok akan materi. Ibu anakmu akan membunuh kesombongan itu dengan jiwa yang meronta karna meminta belas kasihan untuk mu yang mereka tolak. Ibu maafkan aku karna tak kuasa menangisimu, bahkan detik ini aku merindukanmu. Ibu, sampaikan salamku pada tuhan nanti. Aku membenci semua keadaan ini, aku membenci ia yang tak sekalipun mengabulkan doaku. Ibu sampaikan nanti pada tuhanmu agar menjaga mu dalam setiap keadaan apapun, biarkan semua menjadi pengganti kebahagiaanmu yang dulu usai. Aku pamit ibu. Jaga dirimu baik-baik disana." Kalimat itu merupakan penutup dari gadis kecil Alena.

2 bulan menghilang dari desa kecil tersebut. Satu hari sebelumnya koran mengabarkan bahwa gadis kecil Alena dikabarkan telah membunuh Kepala desa dengan cara Melesatkan kapak tepat pada kepalanya saat ia tertidur pulas. Dalam koran tersebut foto Alena gadis kecil itu begitu gembira dan ia mengatakan merasa puas sudah menghabisi nyawa lelaki tua yang sebenarnya merupakan ayah kandungnya sendiri. Tamat.

DMY

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama