Situbondo, himmahKPI.com - Rumah menjadi gudang gelap penuh nyeri. Cicak kecil seukuran jari kelingking orang dewasa seperti menertawakan aku yang takut menghadapi orang-orang bajingan yang akan datang besok pagi, atau menjelang siang, atau siang, atau menjelang sore, atau sore, atau menjelang malam, atau malam, aku tidak benar-benar bisa memastikan kapan orang-orang keparat itu datang. Cicak itu merayap di atas bingkai foto yang catnya sudah pudar, sambil membuang kotoran dan terkikik menertawakanku. Sial.
Jika bisa, aku ingin mengambil pisau dari tempat biasanya ibu meletakkannya di dapur, mengikat sang waktu di kamar kosong yang pengap di rumahku, kemudian mencabik-cabik selangkangannya sampai terkoyak dengan mata pisau yang sudah aku siapkan. Agar hari esok tidak pernah datang. Entah siapa yang sudah mengutuknya untukku, aku benar-benar jengah membayangkan esok yang dingin tapi panas. Serba meresahkan. Dan bagiku itu adalah sebuah kutukan. Meski aku bahagia-bahagia saja dengan segala hal yang terjadi, yang namanya kesal tetap mampu berkuasa.
Ibu yang bagi kebanyakan orang adalah tempat ternyaman untuk berbagi sepanjang masa, tempat pulang paling damai dan pelarian menenangkan dari seluruh masalah. Besok para ibu dan termasuk ibuku, akan menjadi monster berambut ular. Meski terdengar terlalu fiksi, itu memang benar adanya. Bahwa esok dia akan menjadi orang-orang yang sudah aku catat sebagai orang keparat. Hari esok sudah mengutuk orang baik menjadi sesuatu yang menjijikan. Apa aku siap? Bahkan sampai aku mencabut rahang gigiku, semuanya, aku tidak akan pernah berkata siap.
Besok para ayah akan menggunakan bilah kapaknya untuk menghancurkan dinding-dinding gedung, jembatan tua, mal-mal besar, rumah adat, jalanan beraspal, ruko-ruko, taman kota, warung pinggir jalan, rumah-rumah tetangga, dan pertahanan anaknya sendiri. Semuanya akan menjadi puing dan serpihan. Membayangkannya sudah membuatku lebih merinding ketimbang mencabut nyawa seekor belalang dengan mematahkan kaki dan kepalanya, lalu memisahkan seluruh bagian tubuhnya menjadi beberapa bagian.
Cicak itu tidak mau beranjak dari atas bingkai foto. Giginya tersungging dan suara tawanya membuatku ingin cepat-cepat mengambil ketapel dan membunuhnya. Sesekali dia menjulurkan lidahnya. Seolah tengah mengejekku. Menyebalkan.
Nampak cicak seakan tertawa melihatku sambil lalu bergegas pergi |
Aku terlalu geram untuk tetap duduk tenang. Sebelum esok datang dan waktu cukup lambat untuk membuat matahari terbangun, aku mulai mengumpulkan bahan-bahan untuk membunuh dan menghancurkan semua yang ada di kota ini. Termasuk kekasihku yang memilih pergi daripada mempertahankan hubungan yang sudah berjalan hampir 4 tahunan.
Aku mulai mengumpulkan beberapa plutonium dan uranium yang akan digunakan dalam reaksi fisi, dan mengumpulkan beberapa lithium-6, deuterium, dan tritium dalam skala besar. Ah, kalian pasti sudah menduganya setelah mendengar bahan nuklir tersebut. Aku akan merakit sebuah bom untuk membunuh orang-orang dan menghancurkan kota ini. Termasuk balas dendamku pada si cicak itu.
Tidak hanya bom nuklir, bom atom juga menjadi sesuatu yang harus kubuat. Aku bukan orang bodoh yang mau meninggalkan sesuatu tetap berdiri kokoh, atau menyisakan satu orang untuk hidup. Membinasakan seluruh yang ada agar esok tidak pernah menyapa. Jika kalian menganggap aku keji, sebenarnya tidak masalah. Sebutan itu tidak terlalu buruk dibandingkan bertemu dengan rekan-rekan kerjaku di sebuah apotek kecil pinggir jalan. Bom atom sebesar 20 kilo (ribuan) ton TNT, akan dijatuhkan besok jam 3 dini hari. Sebelum matahari nampak di pucuk timur arah mata angin.
Aku mulai bekerja keras, menimbang berapa banyak yang harus aku gunakan. Lampu pijar yang remang-remang membantuku menerangi pekerjaan biadab ini. Ruang kerja yang tidak terlalu lebar dan penerangan yang cukup, dingin tidak menerabas tembok ruangan, dan hal itu membuatku nyaman melakukannya dengan cepat. Aku bersyukur pernah kuliah di jurusan fisika dan kimia murni meski keduanya tidak sampai selesai. Aku tidak peduli dengan gelar, selagi ilmu itu cukup untuk memusnahkan kota terkutuk ini.
Jam dinding terus berderik, membuatku semakin kesal. Aku meraih palu yang yang tergeletak di atas nakas di pojok ruangan, dan telak melemparnya pada jam dinding yang berbunyi, seketika bunyinya hilang. Sunyi. Dan kembali senyap.
Fajar sudah hampir tampak, terlihat semburat merah dengan garis kuning keemasan di sebelah timur. Berjam-jam berkutat di dalam ruangan membuatku puas setelah melihat hasilnya.
Bom dengan panjang 3 meter, diameter 71 cm, berat 4.400 kg, dan di dalamnya terkandung uranium-235 dengan berat 64 kilogram. Berdaya ledak 15 kilotons. Cukup untuk meledakkan sebuah kota sampai luluh-lantak.
Dan ini mirip dengan sang perakit bom atom yang pernah menyesal pernah membuatnya, Robert Oppenheirmer.
Aku memasukkan bom tersebut ke dalam tas. Tergesa-gesa keluar rumah, selagi ibu dan ayah masih terlelap di dalam kamar sambil berpelukan. Sebentar lagi, sebelum mereka menjadi monster, aku akan membinasakannya terlebih dahulu. Aku bahagia dengan stok kebahagiaan yang sudah aku curi dari seluruh penduduk di kota ini, menyisakan mereka yang marah. Meski sejujurnya aku memiliki rasa kesal yang lahiriah, itu tidak berpengaruh pada kebahagiaanku yang menggunung.
Aku berlari ke atas bukit. Sepi. Dingin mulai terasa menusuk tulang. Angin seolah berteriak liar, mencoba menghentikan niatku. Orang-orang akan dikuasai amarah, dan aku tidak ingin membiarkannya. Sebab semuanya akan memburuku, merampas kembali semua kebahagiaan yang sudah aku curi. Jalanan kota masih sangat lengang. Gedung-gedung masih berdiri dengan gagahnya. Jalanan masih menyisakan dingin yang mencekam. Sebentar lagi, semuanya akan hancur. Aku terus berjalan ke arah bukit. Tergesa-gesa dan mempercepat langkah.
Tepat di depan rumah bercat ungu, dengan tiang bergaris warna biru. Rumah dan pemiliknya masih membuatu merasakan rindu. Kekasih yang kuperjuangkan dengan cinta dan pengorbanan, akhirnya tandas di tengah jalan.
"Sayang"
"Ada apa?"
"Apa aku boleh mengatakan sesuatu?"
"Tentu. Katakan saja"
"Kita sudahi saja hubungan yang hambar ini"
"Oh, baiklah"
"Kamu tidak keberatan?"
"Untuk apa?"
"Tidak ada"
"Oke"
"Terimakasih"
"Tidak perlu basa-basi. Pergi saja."
Seketika dia hilang. Beberapa hari setelahnya dia menemukan yang mungkin lebih baik dariku. Aku mulai patah dan hancur. Itu sebabnya aku mencuri seluruh kebahagiaan. Dan mereka akan sadar bahwa kebahagiaannya telah dicuri. Lalu mereka marah dan pasti mengamuk. Aku tidak boleh buang-buang waktu. Aku melanjutkan perjalanan.
Tepat jam 3 dini hari, sebelum orang-orang bangun untuk melakukan ritualnya, sebelum mereka mulai sibuk mengerjakan banyak hal, sebelum mereka sadar tidak punya kebahagiaan, dan sebelum aku benar-benar kesal sudah menunda-nunda. Bom sudah kusiapkan untuk meledakkan. Meluncur, dan....
Buuuummmm.
Gelap.
Aku rasa aku sudah menjalankan misiku. Tapi, tunggu dulu. Kenapa semua orang masih berlalu-lalang? Kenapa gedung-gedung masih menjulang? Kenapa kendaraan masih memadati jalanan kota? Kenapa semua orang asik bercanda, tertawa, senyum dan bertanda bahagia?
Kenapa gadisku, ah, maksudku mantan kekasihku masih mengapit lengan lelakinya? Dan lihat, aku bisa menembus tembok rumah, ibu dan ayah menangisi sesuatu.
Kebahagiaan mereka sudah kembali. Itu artinya aku bukan menghancurkan kota. Itu bom bunuh diri.
"Benar-benar terkutuk."
situbondo, 4 Desember 2020
Wilda Zakiyah
Pegiat Literasi
Tags:
Cerpen