Penulis Merupakan Ketua Lembaga Dakwah di PCNU Situbondo dan Dosen di STAINH Kapongan Situbondo |
Lensakomunikasi.com-"Bulan Rajab merupakan bulan yang penuh dengan kenangan sejarah akan suatu peristiwa besar yang terjadi pada seorang hamba pilihan yang memiliki pengaruh besar bagi perjalanan dan perkembangan sejarah Islam. Peristiwa yang dimaksud adalah perjalanan serang hamba dari masjidil haram menuju masjidil aqsho, hingga melanjutkan perjalanan menuju dan menghadap tuhan. Perjalanan tersebut akrab disebut Isra Miraj."
IsraMiraj merupakan peristiwa klasik yang telah lama dibicarakan,dan di kaji oleh banyak kalangan,termasuk juga dikalangan intelektual muslim dengan menekankan pada sebuah keyakinan spiritual akan sebuah peristiwa yang diasumsikan diluar wilayah akal. Dikatakan demikian, karena,safari tersebut hanya membutuhkan waktu yang sangat pendek dengan jarak tempuh yang sangat jauh, bahkan jarak tempuh yang melampaui kerajaan bumi. Sehingga menurut sebagian banyak intelektual muslim, peristiwa ini perlu didekati dengan hati, untuk memperoleh sebuah kebenaran. Tulisan ini tidak akan lagi mempermasalahkan kebenaran peristiwa tersebut, melainkan mengkajinya dari dimensi yang belum terbaca, yaitu dimensi intelektualitas yang terkandung dalam peristiwa isramiraj. Dengan kata lain, yang menjadi aksentuasi bukan lagi pada surface structure, melainkan lebih pada depth structure yang bersemayam dibalik sebuah peristiwa. Guna menuai hajat tersebut, akan digunakan communication paradigm, dengan berpijak pada teori audiens Stuart Hall yang menekankan pada aspek resepsi sebuah pesan.
Dimensi komunikasi dalam Isramiraj, Secara historis, peristiwa isramiraj di pahami sebagai sebuah perjalanan seorang hamba Tuhan yang bernama Muhammad SAW, dari kerajaan bumi menuju kerajaan langit dengan tujuan utama menerima sebuah perintah Shalat sebanyak lima waktu, terdiri dari 17 rakaat sehari semalam. Dalam Perjalanan tersebut, terdapat beberapa unsure komunikasi, diantaranya:
Skema diatas menunjukkan bahwa Allah sebagai komunikator utama yang memiliki kehendak untuk menyampaikan sebuah pesan yang berupa Shalat kepada Muhammad sebagai komunikan pertama yang dikehendaki dan dipercayai oleh komunikator untuk menerima pesan,dengan tujuan yang dikehendaki oleh Komunikator.
Berdasar peristiwa komunikasi tersebut, yang menarik untuk dikaji adalah bagaimana Muhammad sebagai komunikan menerima sebuah pesan Tuhan. Dalam encoding and decoding, Stuart Hall, membagi model penerimaan pesant menjadi tiga: a) conform, yaitu sebuah sikap penerimaan pesan yang dilakukan oleh komunikan secara taken for granted. Artinya tidak lagi berpikir tentang pesan tersebut yang penting dia mengikuti dan menerima apa adanya. b) opposited, yaitu sebuah penerimaan dan penggunaan pesan yang dilakukan untuk melakukan perlawanan terhadap pesan tersebut. Model ini kerapkali dilakukan oleh para komunikan yang memiliki kepentingan, dan bertentangan dengan pesan tersebut. c) negosiated, yaitu sebuah pembacaan audiens/communican terhadap sebuah pesan yang dilakukan secara negosiatif-komunikatif. Artinya, komunikan tidak menerima begitu saja melainkan membacanya dan merelevansikan dengan sebuah kenyataan, dan kebutuhan sasaran pesan.
Teori diatas, apabila digunakan untuk membaca proses penerimaan pesan yang dilakukan oleh Muhammad SAW, maka dapat dikatakan bahwa model yang digunakan oleh Muhammad adalah bersifat negosiatif komunikatif. Dikatakan, demikian karena telah terjadi proses negosiasi yang dilakukan oleh Muhammad dengan tuhan sebagai pemilik pesan, yang berisi permintaan pertimbangan atas jumlah Shalat yang diberikan kepada umat Muhammad sebanyak lima puluh waktu dalam satu hari semalam. Dengan pelbagai alasan dan pertimbangan, akhirnya permohonan komunikan dikabulkan oleh komunikator, dan Shalat menjadi lima waktu. Proses negosiasi tersebut, menggambarkan sebuah corak berpikir kritis-dialogis yang dilakukan dengan cara menelaah kembali pesan Tuhan, dengan melibatkan sebuah saran atau kontribusi pemikiran dari beberapa Nabi yang sempat berdialog dengan Muhamad SAW. Dengan kata lain, Tuhan melatih Muhammad untuk berpikir kritis dalam menyikapi persoalan, dan dalam menerima pesan, serta membiasakan hambanya untuk berkomunikasi dan berdialog dengan sesama untuk mencari jalan terbaik, dan tepat dalam menyelesaikan persoalan,dan melakukan perubahan.
Dengan demikian,secara implisit peristiwa isramiraj mengajarkan pada manusia khususnya umat Muhammad, untuk cinta pegetahuan melalui usaha gemar membaca, berpikir kritis dialogis dan menyebarluaskan pengetahun tersebut secara komunikatif kepada siapapun, agar pesan yang disampaikan bisa diterima dengan baik, dan dilaksanakan dengan penuh kesadaran tanpa paksaan. Semangat ini, sangat tepat apabila diterapkan dalam kondisi zaman saat ini yang sarat akan kepalsuan dan dominasi kepentingan.
Oleh karena itu, sebagai kaum intelektual, khususnya insan akademik memiliki kewajiban untuk memupuk sikap kritis, menciptakan suasana komunikasi yang berbasis negosiatif dengan pelbagai kalangan, agar dominasi kepentingan bisa di bongkar, dan perubahan sosial bisa terlaksana dengan baik. Akhir kata, Menurut Brower seorang fenomenolog, mengatakan bahwa “dunia diwarnai dengan komunikasi, kerja, dan karya”.